Senin, 17 Desember 2012
sudut istimewa_si bejo
selamat menyaksikan yakkkk.....!!!!!!
selamat mencoba..!!!
Rabu, 07 November 2012
BUDAYA MENULIS DI KALANGAN MAHASISWA
BUDAYA MENULIS DI KALANGAN MAHASISWA
Menulis merupakan suatu hal yang
kelihatannya sepele, namun dalam kenyataannya sulit dilakukan. Itulah ungkapan
yang sering kali terdengar oleh telinga kita, bukan hanya itu, bahkan virus
enggan menulis telah tertanam di dalam jiwa seorang mahasiswa kebanyakan. Hal
ini sangat eronis sekali. Bagaimana bangsa kita akan maju, akan di segani lagi
kalau jiwa muda yang kategorinya adalah mahasiswa saja bermalas-malasan?
Banyak kendala yang di hadapi
oleh mahasiswa, padahal image meereka
di mata masyarakat adalah kaum intelektual yang kritis dengan hal-hal
disekitar. Bahkan yang lebih parah lagi adalah budaya “copasus” yang kian merajalela, adanya teknologi yang semakin
berkembang pesat (internet) bukan di jadikan sebagai referensi untuk meresum
ataupun menjadi pertimbangan dalam ajang menulis, akan tetapi malah menjadi
ajang besar-besaran untuk plagiat.
Suatu hal yang harus segera
disikapi oleh setiap Universitas dalam memberdayakan mahasiswanya dalam
mencurahkan pemikirannya yang kritis dalam suatu bentuk tulisan. Perbanyak
pelatihan menulis adalah suatu upaya yang
wajib dilaksanakan. Hal ini sekiranya dapat mengurangi berbagai jenis plagiatisme di kalangan mahasiswa.
Dalam hal ini peran keikut
sertaan seorang dosen sangatlah diperlukan, tidak hanya memberikan tugas
(makalah) saja, akan tetapi ada tanggung jawab akan apa yang telah dibuatnya,
seperti halnya menyantumkan referensi dari manakah tulisanya itu diambil.
Dari berbagai alasan yang sering
dilontarkan mahasiswa terhada budaya menulis adalah mereka bingung terhadap apa
yang akan di tulisnya nanti dalam tulisannya. Ini sebenarya hal yang sepele,
seseorang yang sering membaca suatu karya tulisan dari orang lain pasti faham
dengan sendirinya seperti apakah menulis yang berkarakter itu. Sebenarnya
menulis itu hanya masalah pembiasaan saja, kalau sudah terbiasa menulis maka
mutu tulisan itu akan semakin bagus.
Selasa, 06 November 2012
smadav 2012
Smadav full version september 2012
Dikalangan para pengguna laptop sekarang tak dapat di
pungkiri adanya malware ataupun virus yang dapat merusak file bahkan
menghancurkan file.
Tapi jangan khawatir sobat, kini indonesia sudah punya
antivirus lokal smadav
Klik disini untuk mendownload via 4shared
atau smadav pro
maka akan dapat mengubah tampilan dasbor smadav anda seperti ini
cintai produk asli indonesiaselamat mencoba antivirus smadav
Kompetensi Profesionalisme Guru
A. Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan
suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa, atas dasar
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu
merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar. Interaksi
dalam peristiwa belajar-mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar
hubungan antar guru dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal
ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman
sikap dan nilai pada siswa yang sedang belajar. Proses belajar-mengajar
mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar.
Dalam proses belajar-mengajar tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak
terpisahkan antara siswa yang belajar dan guru yang mengajar. Antara kedua
kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang. Guru merupakan jabatan
atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak
bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian khusus untuk melakukan kegiatan
atau pekerjaan sebagai guru. Orang yang pandai berbicara dalam bidang-bidang
tertentu, belum dapat disebut sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan
syarat-syarat khusus, apalabi sebagai guru profesional yang harus menguasai
betul seluk-beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan
lainnya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendiikan tertentu.
Proses dalam pengertiannya di sini merupakan interaksi semua komponen atau
unsur yang terdapat dalam belajar-mengejar yang satu sama lainnya saling
berhubungan (interdependent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Yang termasuk
komponen belajar-mengajar antara lain tujuan instruksional yang hendak dicapai,
materi pelajaran, metode mengajar, alat peraga pengajaran, dan evaluasi sebagai
alat ukuran tercapai-tidaknya tujuan. Belajar diartikan sebagai proses
perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Seseorang setelah mengalami proses belajar, akan
mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya,
maupun aspek sikapnya. Misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak
mengerti menjadi mengerti, dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan
menjadi sopan. Kriteria keberhasilan dalam belajar di antaranya ditandai dengan
terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar. Mengajar
merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup
berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat tergantung pada
pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar merupakan suatu
perbuatan atau pekerjaan yang bersifat unik, tetapi sederhana. Dikatakan unik
karena hal itu berkenaan dengan manusia yang belajar, yakni siswa, dan yang
mengajar, yakni guru, dan berkaitan erat dengan manusia di dalam masyarakat
yang semuanya menunjukkan keunikan. Dikatakan sederhana karena mengajar
dilaksanakan dalam keadaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mudah dihayati
oleh siapa saja. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan
belajar-mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu
usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan
pengajaran yang menimbulkan proses belajar. Pengertian ini mengandung makna
bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar
siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik yang ada di kelas
maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang kegiatan belajar-mengajar.
B. Peran Guru dalam PBM
Keberadaan guru bagi suatu bangsa
amatlah penting, apalagi bagi suatu bangsa yang sedang membangun, terlebih-lebih
bagi keberlangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan perjalanan zaman
dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai
yang cenderung memberi nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni
dalam kadar dinamik untuk dapat mengadaptasi diri. Semakin akurat para guru
melaksanakan fungsinya, semkin terjamin tercipta dan terbinanya kesiapan dan
keandalan seseorang sebagai manusia pembangunan. Dengan kata lain, potret dan
wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kin,
dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengna citra para
guru di tengah-tengah masyarakat. Sejak dulu, dan mudah-mudahan sampai
sekarang, guru menjadi panutan masyarakat. Guru tidak hanya diperlukan oleh
para murid di ruang-ruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat
lingkungannya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi
masyarakat. Sebagaimanyang tela dikemukakan di atas, perkembangan baru terhadap
pandangan belajar-mengajar konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan
dan kompetensinya karena proses belajar-mengajar dan hasil belajar siswa
sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompeten
akan mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat
optimal. Peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar-mengajar meliputi:
1. Guru Sebagai Demonstrator Melalui
peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau mengajar, guru hendaknya
senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta
senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu
yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menentukanhasil belajar yang
dicapai oleh siswa. Salah satu yang harus diperhatikan oleh guru bahwa ia
sendiri adalah pelajar. Ini berarti bahwa guru harus belajar terus-menerus.
Dengan cara demikian ia akan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu
pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan
demonstrator sehingga mampu memperagakan apa yang diajarkannya secara didaktis.
Maksudnya agar apa yang disampaikannya betul-betul dimiliki oleh anak didik.
Juga seorang guru hendaknya mampu dan terampil dalam erumuskan TPK, memahami
kurkulum, dan dia sendiri sebagai sumber belajar terampil dalam memberikan
informasi kepada kelas. Sebagai pengajr ia pun harus membantu perkembangan anak
didik untuk dapat menerim, memahmi, serta menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu
guru hendaknya mampu memotivasi siswa untuk senantiasa belajar dalam berbagai
kesempatan. Akhirnya seorang guru akan dapat memainkan peranannya sebagai
pengajar dengan baik bila ia menguasai dan mampu melaksanakan
ketrampian-keterampilan mengajar yang dibahas pada bab selanjutnya.
2. Guru Sebagai Pengelola Kelas Dalam
perannya sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu
mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari sekolah
yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar
kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan. Pengawasan
terhadap belajar lingkungan itu turut menentukan sejauh mana lingkungan
tersebut menjadi lingkungan belajar yang baik. Lingkungan yang baik ialah yang
bersifat menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan
kepuasan dengan mencapai tujuan. Kualitas dan kuantitas belajar siswa di dalam
kelas tergantung pada banyak faktor, antara lainialah guru, hubungan pribadi
antara siswa di dalam kelas, serta kondisi umum dan suasana di dalam kelas.
Tujuan umum pengelolaan kelas ialah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas
untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang
baik. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam
menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan
siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk meperoleh hasil yang
diharapkan. Sebagai manajer guru bertanggung jawab memelihara lingkungan fisik
kelasnya agar senantiasa menyenangkan untuk belajar dan mengarahkan atau
membimbing proses-proses intelektual dan sosial di dalam kelasnya.
3. Guru Sebagai Mediator dan
Fasilitator Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman
yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat
komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar. Dengan demikian
maka pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi
dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran
di sekolah. Guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang media pendidika
Bagaimana orang berinteraksi dan berkomunikasi. Tujuannya agar guru dapat
menciptakan secara maksimal kualitas lingkungan yang interaktif. Dalam hal ini
ada tiga macam kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru, yaitu mendorong
berlangsungnya tingkah laku sosial yang baik, mengembangkan gaya interaksi
pribadi, dan menumbuhkan hubungan yang positif dengan para siswa. Sebagai fasilitator
guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat
menunjang pencapaian tujuan dan peoses belajar-mengajar, baik yang berupa nara
sumber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar.
4. Guru Sebagai Evaluator Kalau kita
perhatikan dunia pendidikan, akan kita ketahui bahwa setiap jenis pendidikan
tau bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan
orang selalu mengadakan evaluasi, artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu
periode pendidikan, selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah
dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidikan. Demikian pula dalam
satu kali proses belajar-mengajar guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang
baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yangtelah
dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah
cukup tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan
evaluasi atau penilaian. Dengan penilaian, guru dapat mengetahui keberhasilan
pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan atau
keefektifan metode mengajar. Tujuan lain dari penilaian di antaranya ialah
untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelas atau kelompoknya. Dengan
penilaian guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang siswa termasuk kelompok
siswa yang pandai, sedang, kurang, atau cukup baik di kelasnya jika dibandingkan
dengan teman-temannya.
C. Kompotensi Profesionalisme Guru
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (WJS
Purwadarminta) kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau
memutuskan sesuatu hal. Pengertian dasar kompetensi (competency) yakni
kemampuan atau kecakapan. Adapun kompetensi guru adalah the ability of teacher
to responsibility perform has or her duties oppropriately. Kompetensi guru
merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban
secara bertanggung jawab dan layak. Dengan gambaran pengertian tersebut,
dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru
dalam melaksanakan profesi keguruannya. Dengan bertitik tolak pada pengertian
ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan
keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan
fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, guru
profesional adalah oran gyang tidak terdidik dan terlatih dengan baik, serta
memiliki pengalamn yang kaya di bidangnya. Yang dimaksud dengan terdidik dan
terlatih bukan hanya memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai
berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar serta
menguasai landasan-landasan kependidikan seperti yang tercantum dalam
kompetensi guru yang profesional. Terdapat banyak pendapat tentang kompetensi
yang seharusnya dikuasai guru sebagai suatu jabatan profesional. Ada ahli yang
menyatakan ada sebelas kompetensi yang harus dikuasai guru, yaitu: Menguasai
bahan ajar, Menguasai landasan-landasan kependidikan, Mampu mengelola program
belajar mengajar, Mampu mengelola kelas, Mampu menggunakan media/sumber belajar
lainnya, Mampu mengelola interaksi belajar mengajar, Mampu menilai prestasi
peserta didik untuk kepentingan pengajaran, Mengenal fungsi dan program
pelayana bimbingan dan penyuluhan, Mengenal penyelenggaraan administrasi
sekolah, Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian
pendidikan guna keperluan pengajaran, dan Memiliki kepribadian yang tinggi.
Uzer Usman (1995) mengajukan jeniskompetensi yang agak berbda bagi guru.
Kompetensi guru dibagi menjadi dua, yaitu kompetensi pribadi dan kompotensi
profesional. Kompotensi pribadi mencakup: Kemampuan mengembangkan kepribadian,
Kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, Kemampuan bimbingan dan penyuluhan,
Kemampuan yang terkait dengan administrasi sekolah, serta Kemampuan melaksanakan
penelitian sederhana. Kompetensi profesional mencakup: Menguasai landasan
kependidikan, Menguasai bahan pengajaran, Mampu menyusun program pengajaran,
mampu melaksanakan program pengajaran, serta mampu menilai hasil dan proses
belajar mengajar. Masih ada ahli yang juga mengajukan pendapat tentang
kompetensi yang seharusnya dikuasai oleh guru. Namun jika dipadukan dan
disederhanakan, kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh guru dapat
dikelompokkan menjadi: Penguasaan tentang wawasan pendidikan, Penguasaan bahan
ajar, Penguasaan terhadap proses belajar mengajar, Penguasaan terhadap evaluasi
belajar, Penguasaan terhadap pengembangan diri sebagai profesional Tentang
keempat hal ini bisa dijelaskna sebagai berikut: wawasan pendidikan mencakup
pemahaman terhadap: Hakekat manusia, masyarakt dan kaitannya dengan pendidikan,
Landasan pendidikan ditinjau dari sudut filosifi, psikologi, sosiologi, dan
ekonomi, Hakekat peserta didik, Hakekat proses belajar mengajar, Lembaga
pendidikan, dan Sistem pendidikan nasional. Penguasaan bahan ajar tentunya
terkait dengan isi mata pelajaran yang diasuh oleh guru. Namun demikian perlu
dipahami bahwa guru tidak cukup menguasai materi ajar seperti yang tercantum
dalam kurikulum sekolah, tettapi juga materi “di atasnya” yang menjadi payung
materi yang bersangkutan. Penguasaan terhadap proses pembelajaran mencakup
kemampuan dalam: Mengalisis karakteristik peserta didik, Merancang proses
belajar mengajar yang sesuai dengan materi ajar dan karakteristik peserta
didik, Melaksanakan proses belajar mengajar yang kondusif bagi peserta didik
utnuk belajar, serta Memilih dan mengambangkan media dan sumber belajar
lainnya. Penguasaan terhadap evaluasi belajar mencakup kemampuan dalam
Menguasai konsep evaluasi belajar, Memilih dan mengembangkan metode evaluasi
yang sesuai dengan tujuan belajar, Mengembangkan instrumen dan alat evaluais
belajr lainnya Melaksanakan evaluasi belajar sesuai rancangannya, serta Mampu
menganalisis hasil evaluasi untuk kepentingan peningkatan mutu proses belajar
mengajar. Penguasaan terhadap pengembangan diri sebagai guru profesional
mencakup kemampuan dalam: Memahami guru sebagai suatu profesi beserta
ciri-cirinya, Memahami kompetensi dan kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh
guru, Memahami tantangan guru sebagai tenaga profesional di bidang pendidikan,
Memahami konsep pengembangan diri, serta Memahami cara-cara mengembangkan diri
sesuai dengan tuntutan jabatan sebagai guru profesional.
Daftar Pustaka
Hamzah.B.Uno.2008Profesi,Problema,Solusi
dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Cett.II. Jakarta:Pt.Bumi Aksara
Kunandar.2007. Guru Profesional,
Implementasi Kurikulm Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam
Sertifikat Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Mulyasa, E.2007.Menjadi
Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran yang kreatif dan Menyenangkan. Cet
VI. Bandung: Rosadakarya
Nurhalda Rudito. 1986. Desain
Instruksional.Jakarta:P3G Depdikbud Oemar Hamalik.2008.Pendidikan guru,
Berdasarkan pendekatan kompetensi, Cet V.Jakarata:PT. Bumi Aksara PP No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Puwardaminta,WJS.1986. Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Jakarata:Balai Pustaka Rostiyah.1989.Masalah masalah
ilmu Keguruan, Jakarta: Bina Aksara UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang. Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Jkarta: Sinar Grafika UU RI No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen
pendidikan multi kultural
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Multikultural
Pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan. Dengan kata lain pendidikan
bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi realitas sosial dan
budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang
dialaminya.
Istilah
pendidikan multikultural dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan
normatif yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang
berkaitan dengan masyarakat multikultural. Pendidikan multikultural adalah
suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara
menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi
dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman
cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup
di tengah-tengah masyarakat plural.
Berkaitan
dengan kurikulum, dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman
kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan
komponen kurikulum serta lingkungan belajar siswa sehingga siswa dapat
menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai
wawasan, konsep, ketrampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.
Pendidikan
multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah
sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan
multikultural merupakan pengembangan kurikulum dalam aktivitas pendidikan untuk
memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap
orang-orang dari etnis lain. Hal ini berarti pendidikan multikultural secara
luas mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik itu etnis,
ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan siswa
menjadi manusia yang toleran dan menghargai perbedaan.
Berkaitan
dengan kurikulum, dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman
kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan
komponen kurikulum serta lingkungan belajar siswa sehingga siswa dapat
menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai
wawasan, konsep, ketrampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.
Pendidikan
multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah
sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan
multikultural merupakan pengembangan kurikulum dalam aktivitas pendidikan untuk
memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap
orang-orang dari etnis lain. Hal ini berarti pendidikan multikultural secara
luas mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik itu etnis,
ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan siswa
menjadi manusia yang toleran dan menghargai perbedaan.
Agama
seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk menegakkan
perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di bumi
ini. Sayangnya dalam kehidupan yang nyata agama justru menjadi salah satu
penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran umat manusia
Di
dalam makalah ini, hendak menjelaskan bagaimana konsep pendidikan multikultural
dalam mengembangkan kurikulum “Multikultural” di sekolah melalui mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dan mata pelajaran Pendidikan Agama. Dengan tujuan
untuk memberikan sebuah eksposisi terhadap konsep pendidikan multikultural di Indonesia,
sehingga menjadi kontribusi dalam usaha mentransformasikan nilai dan karakter budaya
lokal yang berwawasan nasionalisme.
B.
Konsep
Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah wacana
baru pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya belum begitu jelas dan
masih diperdebatkan oleh para pakar pendidikan. Namun bukan berarti definisi
pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Pendidikan multikultural masih
diartikan sangat ragam, dan belum ada kesepakatan, apakah pendidikan
multukiultural tersebut berkonotasi pendidikan tentang keragaman budaya, atau
pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai keragaman budaya
Pertama,
pendidikan multikultural secara inhern
sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia
adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar
satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa
ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus
berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis
arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara
kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia.
Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku
sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku
tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar
dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah
yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural
ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi,
dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua, pendidikan
multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak
masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah
pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan,
heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia
sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama,
atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga, pendidikan
multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini,
lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan
lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan
alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal
semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia
bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus
mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan
ganda (multiple intelligence).
Keempat, pendidikan multikultural
sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekerasan
muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut
sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak
diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian
berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian.
Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme
ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran
baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan
itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek
pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan
multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan
dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang
diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan
keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. (Tilaar: 2004: 67).
Menurut
Tilaar (2004: 59), pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai cirri-ciri
sebagai berikut:
1. Tujuanya
membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya
(berperadaban)”.
2. Materinya
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai
kelompok etnis (cultural).
3. Metodenya
demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa
dan kelompok etnis (multikulturalis).
4. Evaluasinya
ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi
persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya
Dalam
konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah
untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut
agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan
multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami
pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran
mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi
Inilah
berbagai materi yang senantiasa diperhatikan dalam pembinaan bangsa agar tetap
kuat dan terus berkembang, bahkan seluruh budaya diberi kesempatan untuk membina
dan mengembangkannya. Nilai dan norma di atas ditranformasikan dan dikembangkan
pada siswa-siswa sekolah melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan,
Pendidikan Agama yang di dalamnya juga termasuk civic education, dan
bahkan kini akan dikembangkan sebuah gagasan yang sangat strategis, pendidikan
untuk karakter bangsa.
·
Pendidikan Multikultural dalam Dimensi
Pendidikan Nasional
Setelah kita ketahui,
lahir dan berkembangnya multikulturalisme serta praktik pendidikan
multikultural dibeberapa negara yang telah melaksanakan pendidikan
multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep pendidikan
multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan
kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air. Pendidikan multikultural
mempunyai dimensi sebagai berikut (Tilaar 2004) dan (Benni:2006):
1. “Right to Culture” dan identitas
budaya lokal.
Multikulturalisme
meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak asasi manusia, namun akibat
globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang lain yaitu
hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan
sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia, memang semuanya itu memerlukan
masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan persatuan
indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya
indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Identitas
budaya makro, yaitu budaya indonesia yang sedang menjadi memang harus terus
menerus kita bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung.
2. Kebudayaan
indonesia yang menjadi.
Kebudayaan indonesia
yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas
budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru
yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya antara lain
melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu ditengah-tengah
maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan
kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke indonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu
yang mudah karena memerlukan paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa
indonesia. Sebagai suatu paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional,
maka perlu dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada
pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan
republik indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai
suku bangsa di indonesia.
3. Konsep
pendidikan multikultural yang normatif.
Kita tidak bisa
menerima konsep pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya sekedar
mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di indonesia. Disamping
pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan
indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan
multikultural normatif adalah konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan
cita-cita tersebut. Untuk mewujudkan semuanya jangan sampai konsep pendidikan
multikultural normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman
budayabudaya lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif harus mampu
memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi
terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa
indonesia.
4. Pendidikan
multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial.
Suatu rekontruksi
sosial artinya, upaya untuk melihat kembalai kehidupan sosial yang ada dewasa
ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan,
identitas kesukuan, dari perorangan maupun suatu suku bangsa indonesia, telah
menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Ini semua akan menyebabkan
pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
5. Pendidikan
multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru.
Jelas kiranya untuk
melaksanakan konsep Pendidikan multikultural didalam masyarakat pluralitas tapi
sekaligus diarahkan kepada terwujdnya masyarakat indonesia baru, maka pedagogik
yang tradisional tidak dapat kita gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi
proses pendidikan didalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan
intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut
pendidikan hati (Pedagogy of hert) yaitu diarahkan kepada rasa
persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistiks.
6. Pendidikan
multikultural bertujuan untuk mewujdukan visi indonesia masa depan serta etika
berbangsa.
TAP/MPR RI Tahun 2001
No.VI dan VII mengenai visi indonesia masa depan serta etika kehidupan
berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan
konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan
menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan
dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun
2003. (UUSPN 2003).
C.
Pengembangan
Kurikulum “Multikultural” Di Sekolah
Wacana pendidikan
multikulturalisme memang sempat menghangat di mass media dan banyak menjadi
bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah
upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk mempormulasikannya kedalam
gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat dikatakan, upaya mempromosikan
konsep pendidikan multikultural sebagai bagian dari upaya meredam potensi
konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah paham soal SARA belum
berjalan secara signifikan.
Sebagai
implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan
pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan budaya belum
dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari segi
materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan masyarakat
umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara
parsial (kulitnya saja).
Implementasi
pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dapat
dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan kewargaan dan melalui
Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot kurikulum atau
penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan
akhlak mulia, memiliki intensitas untuk membina dan mengembangkan kerukunan
hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan pada berbagai kompetensi
dasar sebagaimana telah terpapar di atas. Kemudian, juga harus dilakukan dalam
pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi
norma-norma keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma sosial kemasyarakatan.
Pendidikan
multikultur melalui pendidikan kewarganegaran dan Pendidikan Agama harus
dilakukan secara komprehensif, dimulai dari design perencanaan dan kurikulum melalui
proses penyisipan, pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang
telah ada, mendesign proses pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk
bisa menghormati hak-hak orang lain, tanpa membedakan latar belakang ras,
agama, bahasa dan budaya. Dan terakhir pendidikan hasil dan pencapaian
pendidikan multikultur harus dapat dikur melalui evaluasi yang relevan, apakah
melalui instrumen tes, non-tes atau melalui proses pengamatan longitudinal
dengan menggunakan portofolio siswa.
Sesuai
dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat dikembangkan beberapa kompetensi
dasar sebagai berikut:
1. Menjadi
warga negara yang menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan etnik, agama,
bahasa dan budaya dalam struktur masyarakatnya
2. Menjadi
waraga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik, multi kultur, dan multi
religi dalam konteks pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa
3. Menjadi
warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu warga negara tanpa membedakan
latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan,
ekonomi, politik dan lainnya, bahkan untuk memelihara bahasa dan mengembangkan
budaya mereka.
4. Menjadi
warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara untuk terwakili gagasan
dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif.
5. Menjadi
warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan mengembangkan rasa
keadilan terhadap semua warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama,
bahasa dan budaya mereka.
D. Implementasi
Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan peserta didik dengan cara begitu
rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka
terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi oleh nilai spiritual dan sadar
dengan nilai etis Islam.
Pendidikan Islam
bukan hanya sekadar transfer of knowledge, tetapi lebih merupakan suatu
sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem yang
terkait langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah suatu
kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau
sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sosok pendidikan Islam dapat digambarkan
sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat
melalui ilmu dan ibadah.
Konsepsi
pendidikan model Islam tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya
mencerdaskan semata, melainkan sejalan dengan konsep Islam sebagai suatu
pranata sosial itu sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakikat
eksistensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di hadapan Allah SWT. Perbedaannya
adalah pada kadar ketakwaannya sebagai bentuk perbedaan kualitatif. Keberagaman
dalam pendidikan itu ada karena pendidikan tidak lepas dari konteks masyarakat.
Anak-anak
sebagai pusat perhatian pendidikan yang sering terlupakan kepentingannya adalah
bagian dari konteks sosialnya. Mereka memiliki konteks sosial dan budaya yang
berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, menjadi alasan bahwa mereka penting
mendapat pendidikan multikultural agar mereka mampu menyesuaikan diri dengan
baik. Hal ini menjadi tanggungjawab sekolah melalui pendidikan dan mata
pelajaran di sekolah, maka pendidikan multikultural dapat ditanamkan pada anak,
termasuk melalui pendidikan agama sejak dini.
Pendidikan Islam
didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu
dengan membawa potensi bawaan seperti keimanan, potensi memikul amanah dan
tanggungjawab, potensi kecerdasan dan potensi fisik yang sempurna. Dengan
potensi-potensi tersebut, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif
dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau mendidik dengan secara
sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu berinteraksi dengan baik bagi
sesama makhluk dan mampu menjadi khalifah dan mengabdi pada Allah SWT.
Agar seseorang
mampu berkembang dan berinteraksi dengan sesamanya di lingkungannya, maka perlu
dibekali kemampuan untuk dapat eksis dan diterima sehingga sejak dini seorang
individu muslim mampu melihat perbedaan dan keragaman yang ada di sekitarnya.
Mereka tidak hanya mengenal dan mengakui tata cara yang berdasarkan ajaran
Islam semata, tetapi mereka diharapkan mampu memahami bahwa ada tata cara yang
lain yang mungkin berbeda. Perbedaanperbedaan itu hendaknya jangan ditanggapi
secara apriori, tetapi dapat ditangkap sebagai suatu yang wajar dan perlu dihargai.
Untuk dapat memiliki sikap hidup yang demikian diperlukan penanaman nilai-nilai
pendidikan multikultural.
E. Hambatan-hambatan
dalam Impementasi Pendidikan Multikultural
Mengimplementasikan
pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau
kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan
sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut.
1. Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan
Multikultural
Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan
dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai
multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya,
maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka.
Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar mengatakan
bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan
etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari
itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap
toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi,
tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.
2. Munculnya Gejala Diskontinuitas
Dalam pendidikan multikultural yang
sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi
diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang
sosiokultural dimasyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah
sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah.
Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di antaranya adalah
mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan memeliharanya, serta
berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai unsur pelaku
pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan
tokoh masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural
peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati
sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban
untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur kontinuitas.
Di samping itu, upaya tersebut perlu dilakukan
pula terkait dengan penciptaan konsistensi dalam menyediakan kondisi dan
situasi bagi peserta didik yang kondusif dan suportif demi terpeliharanya kontinuitas
budaya antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
3. Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak
Pendidikan multikultural merupakan
proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai
komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit untuk dipenuhi karena
ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal tersebut. Berhasilnya
implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung pada seberapa besar
keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya
adalah guru-guru.
Arah kebijakan pendidikan di Indonesia
di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat
yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan
persamaan, serta menghormati perbedaan. Bila berbagai elemen yang terlibat dalam
pendidikan menyadari akan hal ini, maka sebenarnya komitmen tinggi untuk
pelaksanaan pendidikan multikultural akan mudah dicapai sebab dalam pendidikan
multikultural nilai-nilai masyarakat madani itu yang ingin ditanamkan pada
siswa sejak dini.
4. Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan
atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang
berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para
pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai
perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis,
berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di
dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan
perbedaan.
Oleh karena itu, untuk pelaksanaan
pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai penghargaan terhadap
rasa kemanusiaan, perbedaan, dan keragaman akan menjadi kurang disukai dan
kurang dianggap penting.
F.
Pendidikan
Multikultural dan Tantangan Globalisasi
Globalisai
adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan jepang
yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominir dunia
dengan kekuatan, globalisa juga merupakan proses yang berlangsung panjang dan
bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini,
dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi baru dan bertambahnya arus
modal secara bebas. (Zaenal: 2005).
Dalam
menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, Makadunia
pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi pada
semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah
daerah (pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan,
sehingga semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan formal, baik yang
didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum
pendidikan (pasal 53 ayat1).
Badan
hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada
peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum pendidikan akan
memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara pendidikan dan satuan
pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan
global.
Dalam
menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh
kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang
terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang
dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3).
Kemajuan
komunikasi yang global seperti internet, juga telah membawa dampak terhadap
pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya internet dengan mudahnya gambar-gambar
fornografi diakses oleh anak-anak usia sekolah melalui teknologi informasi itu.
Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang diamana di satu
sisi harus mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi disisi lain berimplikasi
kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai budaya luar
seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal.
Adapun
dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka
pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai paradigma baru
pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi pelayanan
pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan
secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2).
Menurut
Chirzin, proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya liberalisasi
ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia
pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi membuat
dunia menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk
berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian
mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ketempat lain sehingga
sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide atau
gagasan. (Sumartana: 2001:5).
Dalam
perkembangannya pendidikan di Indonesia mengalami perubahaperubahan yang boleh
dikatakan agak lumayan maju,walaupun belum sepenuhnya memenuhi target dari
tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Pendidikan hadir di tengah-tengah
masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri, sosial, negara bangsa,
bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia karena, Hal ini sangat relefan sekali
dengan konsep pendidikan multikultural yang dimana pendidikan ini tidak
mempeta-petakan baik itu bahasa, etnis, kultur, budaya, ras, agama, status
sosial, dan lain sebagainya. Fungsi pendidikan sedikit disinggungpada babII
pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan nasional adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. (Tilaar: 2003:6).
Ada
beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela dikemukakan diatas. Setidaknya hal
itu bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit, pendidikan
berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani para
peserta didik. Kedua, secara luas, pendidikan berfungsi sebagai pengembangan
pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan
bangsa. Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangatpenting sekali untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan makamur dan yang inklusif bagi semua
lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga Selain berfungsi sebagaimana yang
telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga berfungsi sebagai investasi
jangka panjang.
Menurut
Nurkolis pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya manusia (SDM)
Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi.
Penyebannya pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai
prioritas terpenting. Masyarakat Indonesia, mulai dari yanga awam hingga
politisi hingga pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk
memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang. (Malik: 1999:34).
G.
Peran
Guru dalam pengembangan pendidikan multikultual
Peran dalam
oendidikan multikultural juga amat penting. Guru harus mengatur dan
mengorganisasi isi, proses, situasi, dan kegiatan sekolah secara multikultural,
dimana tiap siswa dari berbagai suku, jender, ras, berkesempatan untuk
mengembangkan dirinya dan saling menghargai perbedaan itu.
Guru perlu menekankan diversity dalam pembelajaran, antara
lain dengan:
1. Mendiskusikan
sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai
bangsa
2. Mendiskusikan
bahwa semua orang dari budaya apapun ternyata juga menggunakan hasil kerja
orang lain dari budaya lain. Dalam pengelompokan sisiwa di kelas maupun dalam
kegiatan di luar kelas guru diharapkan memang melakukan keanekaan itu.
Langganan:
Postingan (Atom)