Rabu, 07 November 2012

BUDAYA MENULIS DI KALANGAN MAHASISWA



BUDAYA MENULIS DI KALANGAN MAHASISWA

Menulis merupakan suatu hal yang kelihatannya sepele, namun dalam kenyataannya sulit dilakukan. Itulah ungkapan yang sering kali terdengar oleh telinga kita, bukan hanya itu, bahkan virus enggan menulis telah tertanam di dalam jiwa seorang mahasiswa kebanyakan. Hal ini sangat eronis sekali. Bagaimana bangsa kita akan maju, akan di segani lagi kalau jiwa muda yang kategorinya adalah mahasiswa saja bermalas-malasan?
Banyak kendala yang di hadapi oleh mahasiswa, padahal image meereka di mata masyarakat adalah kaum intelektual yang kritis dengan hal-hal disekitar. Bahkan yang lebih parah lagi adalah budaya “copasus” yang kian merajalela, adanya teknologi yang semakin berkembang pesat (internet) bukan di jadikan sebagai referensi untuk meresum ataupun menjadi pertimbangan dalam ajang menulis, akan tetapi malah menjadi ajang besar-besaran untuk plagiat.
Suatu hal yang harus segera disikapi oleh setiap Universitas dalam memberdayakan mahasiswanya dalam mencurahkan pemikirannya yang kritis dalam suatu bentuk tulisan. Perbanyak pelatihan menulis adalah suatu upaya yang  wajib dilaksanakan. Hal ini sekiranya dapat mengurangi berbagai jenis plagiatisme di kalangan mahasiswa.
Dalam hal ini peran keikut sertaan seorang dosen sangatlah diperlukan, tidak hanya memberikan tugas (makalah) saja, akan tetapi ada tanggung jawab akan apa yang telah dibuatnya, seperti halnya menyantumkan referensi dari manakah tulisanya itu diambil.
Dari berbagai alasan yang sering dilontarkan mahasiswa terhada budaya menulis adalah mereka bingung terhadap apa yang akan di tulisnya nanti dalam tulisannya. Ini sebenarya hal yang sepele, seseorang yang sering membaca suatu karya tulisan dari orang lain pasti faham dengan sendirinya seperti apakah menulis yang berkarakter itu. Sebenarnya menulis itu hanya masalah pembiasaan saja, kalau sudah terbiasa menulis maka mutu tulisan itu akan semakin bagus.

Selasa, 06 November 2012

smadav 2012



Smadav full version september 2012

Dikalangan para pengguna laptop sekarang tak dapat di pungkiri adanya malware ataupun virus yang dapat merusak file bahkan menghancurkan file.
Tapi jangan khawatir sobat, kini indonesia sudah punya antivirus lokal smadav


Klik disini untuk mendownload via 4shared
atau smadav pro
maka akan dapat mengubah tampilan dasbor smadav anda seperti ini
cintai produk asli indonesia
selamat mencoba antivirus smadav

Kompetensi Profesionalisme Guru



Kompetensi Profesionalisme Guru
A.    Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa, atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar. Interaksi dalam peristiwa belajar-mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antar guru dengan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai pada siswa yang sedang belajar. Proses belajar-mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar. Dalam proses belajar-mengajar tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dan guru yang mengajar. Antara kedua kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang. Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian khusus untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Orang yang pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu, belum dapat disebut sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus, apalabi sebagai guru profesional yang harus menguasai betul seluk-beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendiikan tertentu. Proses dalam pengertiannya di sini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam belajar-mengejar yang satu sama lainnya saling berhubungan (interdependent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Yang termasuk komponen belajar-mengajar antara lain tujuan instruksional yang hendak dicapai, materi pelajaran, metode mengajar, alat peraga pengajaran, dan evaluasi sebagai alat ukuran tercapai-tidaknya tujuan. Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Seseorang setelah mengalami proses belajar, akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek sikapnya. Misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan. Kriteria keberhasilan dalam belajar di antaranya ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar. Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat tergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar merupakan suatu perbuatan atau pekerjaan yang bersifat unik, tetapi sederhana. Dikatakan unik karena hal itu berkenaan dengan manusia yang belajar, yakni siswa, dan yang mengajar, yakni guru, dan berkaitan erat dengan manusia di dalam masyarakat yang semuanya menunjukkan keunikan. Dikatakan sederhana karena mengajar dilaksanakan dalam keadaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mudah dihayati oleh siapa saja. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar-mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik yang ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang kegiatan belajar-mengajar.
B.     Peran Guru dalam PBM
Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting, apalagi bagi suatu bangsa yang sedang membangun, terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberi nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik untuk dapat mengadaptasi diri. Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semkin terjamin tercipta dan terbinanya kesiapan dan keandalan seseorang sebagai manusia pembangunan. Dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kin, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengna citra para guru di tengah-tengah masyarakat. Sejak dulu, dan mudah-mudahan sampai sekarang, guru menjadi panutan masyarakat. Guru tidak hanya diperlukan oleh para murid di ruang-ruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sebagaimanyang tela dikemukakan di atas, perkembangan baru terhadap pandangan belajar-mengajar konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensinya karena proses belajar-mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompeten akan mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal. Peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar-mengajar meliputi:
1.      Guru Sebagai Demonstrator Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau mengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menentukanhasil belajar yang dicapai oleh siswa. Salah satu yang harus diperhatikan oleh guru bahwa ia sendiri adalah pelajar. Ini berarti bahwa guru harus belajar terus-menerus. Dengan cara demikian ia akan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan demonstrator sehingga mampu memperagakan apa yang diajarkannya secara didaktis. Maksudnya agar apa yang disampaikannya betul-betul dimiliki oleh anak didik. Juga seorang guru hendaknya mampu dan terampil dalam erumuskan TPK, memahami kurkulum, dan dia sendiri sebagai sumber belajar terampil dalam memberikan informasi kepada kelas. Sebagai pengajr ia pun harus membantu perkembangan anak didik untuk dapat menerim, memahmi, serta menguasai ilmu pengetahuan. Untuk itu guru hendaknya mampu memotivasi siswa untuk senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan. Akhirnya seorang guru akan dapat memainkan peranannya sebagai pengajar dengan baik bila ia menguasai dan mampu melaksanakan ketrampian-keterampilan mengajar yang dibahas pada bab selanjutnya.
2.      Guru Sebagai Pengelola Kelas Dalam perannya sebagai pengelola kelas (learning manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan. Pengawasan terhadap belajar lingkungan itu turut menentukan sejauh mana lingkungan tersebut menjadi lingkungan belajar yang baik. Lingkungan yang baik ialah yang bersifat menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dengan mencapai tujuan. Kualitas dan kuantitas belajar siswa di dalam kelas tergantung pada banyak faktor, antara lainialah guru, hubungan pribadi antara siswa di dalam kelas, serta kondisi umum dan suasana di dalam kelas. Tujuan umum pengelolaan kelas ialah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang baik. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk meperoleh hasil yang diharapkan. Sebagai manajer guru bertanggung jawab memelihara lingkungan fisik kelasnya agar senantiasa menyenangkan untuk belajar dan mengarahkan atau membimbing proses-proses intelektual dan sosial di dalam kelasnya.
3.      Guru Sebagai Mediator dan Fasilitator Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar. Dengan demikian maka pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang media pendidika Bagaimana orang berinteraksi dan berkomunikasi. Tujuannya agar guru dapat menciptakan secara maksimal kualitas lingkungan yang interaktif. Dalam hal ini ada tiga macam kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru, yaitu mendorong berlangsungnya tingkah laku sosial yang baik, mengembangkan gaya interaksi pribadi, dan menumbuhkan hubungan yang positif dengan para siswa. Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan peoses belajar-mengajar, baik yang berupa nara sumber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar.
4.      Guru Sebagai Evaluator Kalau kita perhatikan dunia pendidikan, akan kita ketahui bahwa setiap jenis pendidikan tau bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan orang selalu mengadakan evaluasi, artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidikan. Demikian pula dalam satu kali proses belajar-mengajar guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yangtelah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian. Dengan penilaian, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode mengajar. Tujuan lain dari penilaian di antaranya ialah untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelas atau kelompoknya. Dengan penilaian guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang siswa termasuk kelompok siswa yang pandai, sedang, kurang, atau cukup baik di kelasnya jika dibandingkan dengan teman-temannya.
C.     Kompotensi Profesionalisme Guru
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (WJS Purwadarminta) kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal. Pengertian dasar kompetensi (competency) yakni kemampuan atau kecakapan. Adapun kompetensi guru adalah the ability of teacher to responsibility perform has or her duties oppropriately. Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Dengan gambaran pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, guru profesional adalah oran gyang tidak terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalamn yang kaya di bidangnya. Yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan hanya memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar serta menguasai landasan-landasan kependidikan seperti yang tercantum dalam kompetensi guru yang profesional. Terdapat banyak pendapat tentang kompetensi yang seharusnya dikuasai guru sebagai suatu jabatan profesional. Ada ahli yang menyatakan ada sebelas kompetensi yang harus dikuasai guru, yaitu: Menguasai bahan ajar, Menguasai landasan-landasan kependidikan, Mampu mengelola program belajar mengajar, Mampu mengelola kelas, Mampu menggunakan media/sumber belajar lainnya, Mampu mengelola interaksi belajar mengajar, Mampu menilai prestasi peserta didik untuk kepentingan pengajaran, Mengenal fungsi dan program pelayana bimbingan dan penyuluhan, Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah, Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran, dan Memiliki kepribadian yang tinggi. Uzer Usman (1995) mengajukan jeniskompetensi yang agak berbda bagi guru. Kompetensi guru dibagi menjadi dua, yaitu kompetensi pribadi dan kompotensi profesional. Kompotensi pribadi mencakup: Kemampuan mengembangkan kepribadian, Kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, Kemampuan bimbingan dan penyuluhan, Kemampuan yang terkait dengan administrasi sekolah, serta Kemampuan melaksanakan penelitian sederhana. Kompetensi profesional mencakup: Menguasai landasan kependidikan, Menguasai bahan pengajaran, Mampu menyusun program pengajaran, mampu melaksanakan program pengajaran, serta mampu menilai hasil dan proses belajar mengajar. Masih ada ahli yang juga mengajukan pendapat tentang kompetensi yang seharusnya dikuasai oleh guru. Namun jika dipadukan dan disederhanakan, kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh guru dapat dikelompokkan menjadi: Penguasaan tentang wawasan pendidikan, Penguasaan bahan ajar, Penguasaan terhadap proses belajar mengajar, Penguasaan terhadap evaluasi belajar, Penguasaan terhadap pengembangan diri sebagai profesional Tentang keempat hal ini bisa dijelaskna sebagai berikut: wawasan pendidikan mencakup pemahaman terhadap: Hakekat manusia, masyarakt dan kaitannya dengan pendidikan, Landasan pendidikan ditinjau dari sudut filosifi, psikologi, sosiologi, dan ekonomi, Hakekat peserta didik, Hakekat proses belajar mengajar, Lembaga pendidikan, dan Sistem pendidikan nasional. Penguasaan bahan ajar tentunya terkait dengan isi mata pelajaran yang diasuh oleh guru. Namun demikian perlu dipahami bahwa guru tidak cukup menguasai materi ajar seperti yang tercantum dalam kurikulum sekolah, tettapi juga materi “di atasnya” yang menjadi payung materi yang bersangkutan. Penguasaan terhadap proses pembelajaran mencakup kemampuan dalam: Mengalisis karakteristik peserta didik, Merancang proses belajar mengajar yang sesuai dengan materi ajar dan karakteristik peserta didik, Melaksanakan proses belajar mengajar yang kondusif bagi peserta didik utnuk belajar, serta Memilih dan mengambangkan media dan sumber belajar lainnya. Penguasaan terhadap evaluasi belajar mencakup kemampuan dalam Menguasai konsep evaluasi belajar, Memilih dan mengembangkan metode evaluasi yang sesuai dengan tujuan belajar, Mengembangkan instrumen dan alat evaluais belajr lainnya Melaksanakan evaluasi belajar sesuai rancangannya, serta Mampu menganalisis hasil evaluasi untuk kepentingan peningkatan mutu proses belajar mengajar. Penguasaan terhadap pengembangan diri sebagai guru profesional mencakup kemampuan dalam: Memahami guru sebagai suatu profesi beserta ciri-cirinya, Memahami kompetensi dan kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh guru, Memahami tantangan guru sebagai tenaga profesional di bidang pendidikan, Memahami konsep pengembangan diri, serta Memahami cara-cara mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan jabatan sebagai guru profesional.
Daftar Pustaka
Hamzah.B.Uno.2008Profesi,Problema,Solusi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Cett.II. Jakarta:Pt.Bumi Aksara
Kunandar.2007. Guru Profesional, Implementasi Kurikulm Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikat Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Mulyasa, E.2007.Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran yang kreatif dan Menyenangkan. Cet VI. Bandung: Rosadakarya
Nurhalda Rudito. 1986. Desain Instruksional.Jakarta:P3G Depdikbud Oemar Hamalik.2008.Pendidikan guru, Berdasarkan pendekatan kompetensi, Cet V.Jakarata:PT. Bumi Aksara PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Puwardaminta,WJS.1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarata:Balai Pustaka Rostiyah.1989.Masalah masalah ilmu Keguruan, Jakarta: Bina Aksara UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang. Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Jkarta: Sinar Grafika UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

pendidikan multi kultural




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan. Dengan kata lain pendidikan bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Berkaitan dengan kurikulum, dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum serta lingkungan belajar siswa sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, ketrampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.
Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dalam aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang dari etnis lain. Hal ini berarti pendidikan multikultural secara luas mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik itu etnis, ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan siswa menjadi manusia yang toleran dan menghargai perbedaan.
Berkaitan dengan kurikulum, dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum serta lingkungan belajar siswa sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, ketrampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.
Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dalam aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang dari etnis lain. Hal ini berarti pendidikan multikultural secara luas mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik itu etnis, ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan siswa menjadi manusia yang toleran dan menghargai perbedaan.
Agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di bumi ini. Sayangnya dalam kehidupan yang nyata agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran umat manusia
Di dalam makalah ini, hendak menjelaskan bagaimana konsep pendidikan multikultural dalam mengembangkan kurikulum “Multikultural” di sekolah melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan mata pelajaran Pendidikan Agama. Dengan tujuan untuk memberikan sebuah eksposisi terhadap konsep pendidikan multikultural di Indonesia, sehingga menjadi kontribusi dalam usaha mentransformasikan nilai dan karakter budaya lokal yang berwawasan nasionalisme.
B.     Konsep Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah wacana baru pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya belum begitu jelas dan masih diperdebatkan oleh para pakar pendidikan. Namun bukan berarti definisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Pendidikan multikultural masih diartikan sangat ragam, dan belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multukiultural tersebut berkonotasi pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai keragaman budaya
Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. (Tilaar: 2004: 67).
Menurut Tilaar (2004: 59), pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1.      Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2.      Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural).
3.      Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4.      Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya
Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi
Inilah berbagai materi yang senantiasa diperhatikan dalam pembinaan bangsa agar tetap kuat dan terus berkembang, bahkan seluruh budaya diberi kesempatan untuk membina dan mengembangkannya. Nilai dan norma di atas ditranformasikan dan dikembangkan pada siswa-siswa sekolah melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama yang di dalamnya juga termasuk civic education, dan bahkan kini akan dikembangkan sebuah gagasan yang sangat strategis, pendidikan untuk karakter bangsa.
·         Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional
Setelah kita ketahui, lahir dan berkembangnya multikulturalisme serta praktik pendidikan multikultural dibeberapa negara yang telah melaksanakan pendidikan multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep pendidikan multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air. Pendidikan multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut (Tilaar 2004) dan (Benni:2006):
1.      “Right to Culture” dan identitas budaya lokal.
Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia, memang semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya indonesia yang sedang menjadi memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung.
2.      Kebudayaan indonesia yang menjadi.
Kebudayaan indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke indonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa indonesia. Sebagai suatu paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di indonesia.
3.      Konsep pendidikan multikultural yang normatif.
Kita tidak bisa menerima konsep pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk mewujudkan semuanya jangan sampai konsep pendidikan multikultural normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budayabudaya lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif harus mampu memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa indonesia.
4.      Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial.
Suatu rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembalai kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun suatu suku bangsa indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
5.      Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru.
Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural didalam masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan didalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistiks.
6.      Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdukan visi indonesia masa depan serta etika berbangsa.
TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003. (UUSPN 2003).
C.    Pengembangan Kurikulum “Multikultural” Di Sekolah
Wacana pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass media dan banyak menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk mempormulasikannya kedalam gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah paham soal SARA belum berjalan secara signifikan.
Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari segi materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan masyarakat umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara parsial (kulitnya saja).
Implementasi pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan kewargaan dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak mulia, memiliki intensitas untuk membina dan mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan pada berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah terpapar di atas. Kemudian, juga harus dilakukan dalam pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma sosial kemasyarakatan.
Pendidikan multikultur melalui pendidikan kewarganegaran dan Pendidikan Agama harus dilakukan secara komprehensif, dimulai dari design perencanaan dan kurikulum melalui proses penyisipan, pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang telah ada, mendesign proses pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk bisa menghormati hak-hak orang lain, tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya. Dan terakhir pendidikan hasil dan pencapaian pendidikan multikultur harus dapat dikur melalui evaluasi yang relevan, apakah melalui instrumen tes, non-tes atau melalui proses pengamatan longitudinal dengan menggunakan portofolio siswa.
Sesuai dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat dikembangkan beberapa kompetensi dasar sebagai berikut:
1.      Menjadi warga negara yang menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam struktur masyarakatnya
2.      Menjadi waraga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik, multi kultur, dan multi religi dalam konteks pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa
3.      Menjadi warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi, politik dan lainnya, bahkan untuk memelihara bahasa dan mengembangkan budaya mereka.
4.      Menjadi warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara untuk terwakili gagasan dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif.
5.      Menjadi warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan mengembangkan rasa keadilan terhadap semua warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka.

D.    Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan peserta didik dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi oleh nilai spiritual dan sadar dengan nilai etis Islam.
Pendidikan Islam bukan hanya sekadar transfer of knowledge, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem yang terkait langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah.
Konsepsi pendidikan model Islam tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya mencerdaskan semata, melainkan sejalan dengan konsep Islam sebagai suatu pranata sosial itu sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakikat eksistensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di hadapan Allah SWT. Perbedaannya adalah pada kadar ketakwaannya sebagai bentuk perbedaan kualitatif. Keberagaman dalam pendidikan itu ada karena pendidikan tidak lepas dari konteks masyarakat.
Anak-anak sebagai pusat perhatian pendidikan yang sering terlupakan kepentingannya adalah bagian dari konteks sosialnya. Mereka memiliki konteks sosial dan budaya yang berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, menjadi alasan bahwa mereka penting mendapat pendidikan multikultural agar mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik. Hal ini menjadi tanggungjawab sekolah melalui pendidikan dan mata pelajaran di sekolah, maka pendidikan multikultural dapat ditanamkan pada anak, termasuk melalui pendidikan agama sejak dini.
Pendidikan Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu dengan membawa potensi bawaan seperti keimanan, potensi memikul amanah dan tanggungjawab, potensi kecerdasan dan potensi fisik yang sempurna. Dengan potensi-potensi tersebut, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau mendidik dengan secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu berinteraksi dengan baik bagi sesama makhluk dan mampu menjadi khalifah dan mengabdi pada Allah SWT.
Agar seseorang mampu berkembang dan berinteraksi dengan sesamanya di lingkungannya, maka perlu dibekali kemampuan untuk dapat eksis dan diterima sehingga sejak dini seorang individu muslim mampu melihat perbedaan dan keragaman yang ada di sekitarnya. Mereka tidak hanya mengenal dan mengakui tata cara yang berdasarkan ajaran Islam semata, tetapi mereka diharapkan mampu memahami bahwa ada tata cara yang lain yang mungkin berbeda. Perbedaanperbedaan itu hendaknya jangan ditanggapi secara apriori, tetapi dapat ditangkap sebagai suatu yang wajar dan perlu dihargai. Untuk dapat memiliki sikap hidup yang demikian diperlukan penanaman nilai-nilai pendidikan multikultural.
                                                                                                                 

E.     Hambatan-hambatan dalam Impementasi Pendidikan Multikultural
Mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut.
1.      Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural
Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.
2.      Munculnya Gejala Diskontinuitas
Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural dimasyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur kontinuitas.
Di samping itu, upaya tersebut perlu dilakukan pula terkait dengan penciptaan konsistensi dalam menyediakan kondisi dan situasi bagi peserta didik yang kondusif dan suportif demi terpeliharanya kontinuitas budaya antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.


3.      Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak
Pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan. Bila berbagai elemen yang terlibat dalam pendidikan menyadari akan hal ini, maka sebenarnya komitmen tinggi untuk pelaksanaan pendidikan multikultural akan mudah dicapai sebab dalam pendidikan multikultural nilai-nilai masyarakat madani itu yang ingin ditanamkan pada siswa sejak dini.

4.      Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.
Oleh karena itu, untuk pelaksanaan pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai penghargaan terhadap rasa kemanusiaan, perbedaan, dan keragaman akan menjadi kurang disukai dan kurang dianggap penting.



F.     Pendidikan Multikultural dan Tantangan Globalisasi
Globalisai adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan jepang yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominir dunia dengan kekuatan, globalisa juga merupakan proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi baru dan bertambahnya arus modal secara bebas. (Zaenal: 2005).
Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, Makadunia pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat1).
Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global.
Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3).
Kemajuan komunikasi yang global seperti internet, juga telah membawa dampak terhadap pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya internet dengan mudahnya gambar-gambar fornografi diakses oleh anak-anak usia sekolah melalui teknologi informasi itu. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang diamana di satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi disisi lain berimplikasi kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai budaya luar seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal.
Adapun dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi pelayanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2).
Menurut Chirzin, proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi membuat dunia menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ketempat lain sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide atau gagasan. (Sumartana: 2001:5).
Dalam perkembangannya pendidikan di Indonesia mengalami perubahaperubahan yang boleh dikatakan agak lumayan maju,walaupun belum sepenuhnya memenuhi target dari tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Pendidikan hadir di tengah-tengah masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri, sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia karena, Hal ini sangat relefan sekali dengan konsep pendidikan multikultural yang dimana pendidikan ini tidak mempeta-petakan baik itu bahasa, etnis, kultur, budaya, ras, agama, status sosial, dan lain sebagainya. Fungsi pendidikan sedikit disinggungpada babII pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. (Tilaar: 2003:6).
Ada beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela dikemukakan diatas. Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit, pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani para peserta didik. Kedua, secara luas, pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangatpenting sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makamur dan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga Selain berfungsi sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga berfungsi sebagai investasi jangka panjang.
Menurut Nurkolis pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebannya pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Masyarakat Indonesia, mulai dari yanga awam hingga politisi hingga pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang. (Malik: 1999:34).

G.    Peran Guru dalam pengembangan pendidikan multikultual
Peran dalam oendidikan multikultural juga amat penting. Guru harus mengatur dan mengorganisasi isi, proses, situasi, dan kegiatan sekolah secara multikultural, dimana tiap siswa dari berbagai suku, jender, ras, berkesempatan untuk mengembangkan dirinya dan saling menghargai perbedaan itu.
Guru perlu menekankan diversity dalam pembelajaran, antara lain dengan:
1.      Mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa
2.      Mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apapun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Dalam pengelompokan sisiwa di kelas maupun dalam kegiatan di luar kelas guru diharapkan memang melakukan keanekaan itu.